Manfaat Imunisasi Fungsi Vaksin Bagi Bayi Anak-anak

Imunisasi adalah salah satu upaya mencegah penyakit. Namun belakangan ini timbul pro dan kontra seputar keamanan imunisasi yang tak pelak membuat orangtua resah. Apa benar imunisasi tidak halal dan dapat menyebabkan autisme pada anak? Menjawab kegelisahan para ibu tentang pro dan kontra imunisasi yang terus bergulir, Dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), dosen FKUI RSCM sekaligus sekretaris I Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI), menjelaskan secara lengkap manfaat imunisasi dan penjelasan mengenai isu-isu yang beredar. Berikut tanya-jawab NOVA dengan dokter yang baru saja mengikuti seminar “Good Clinical Practice dan Vaccinologi” dari WHO pada tanggal 17-19 April 2012 ini.
 Apa yang dimaksud dengan imunisasi? 
Imunisasi adalah upaya untuk menimbulkan imunitas atau kekebalan tubuh, baik secara aktif maupun pasif. Imunisasi aktif itu upaya untuk merangsang kekebalan tubuh dengan membentuk antibodi agar dia terangsang dan terbentuk imunitas spesifik.
Sementara imunisasi pasif, artinya kita memberikan zat kekebalan tubuh berupa antibodi yaitu immunoglobulin yang sudah siap pakai. Misalnya pemberian immunoglobulin sebagai antihepatitis B. Jadi ketika bayi lahir dari ibu yang terkena hepatitis B aktif, selain diberi imunisasi aktif juga biasanya diberi imunisasi pasif berupa immunoglobulin agar dia bisa cepat "melawan". 

Benarkah Air Susu Ibu (ASI) sudah cukup untuk memberikan imunitas?
Perlu diketahui bahwa kekebalan atau imunitas itu ada yang spesifik dan nonspesifik. Imunitas nonspesifik itu seperti keringat, ingus, dahak, air liur, juga ASI. Artinya, imunitas nonspesifik berlaku untuk semua jenis penyakit tapi dalam kapasitas yang terbatas atau tidak terlalu kuat dan tidak cukup terlatih untuk melawan virus yang berbahaya seperti misalnya polio. Dalam artian, kalau ada yang bilang bahwa imun bisa dihasilkan dari ASI, iya memang betul. Akan tetapi, itu imunitas nonspesifik sehingga tidak didesain untuk melawan penyakit-penyakit berbahaya. Sementara imunitas spesifik memang dibuat untuk melawan penyakit-penyakit tertentu.

Bagaimana imunisasi spesifik dapat membentuk antibodi?
Nah, imunitas spesifik itu, kan, zat yang bisa merangsang dibentuknya kekebalan atau antibodi terhadap penyakit tertentu dengan cara diteteskan atau disuntikan. Misalnya pada imunisasi polio, itu berarti diberi virus polio yang dilumpuhkan. Jadi immunoglobulin sudah berlatih mengenal virus itu, sehingga ketika terkena virus polio di kemudian hari, immunoglobulin tersebut sudah terlatih untuk melawannya dan bisa meminimalkan tertular dan mencegah wabah.

Jika riwayat imunisasi anak belum lengkap, apakah dapat dilengkapi meskipun usianya sudah besar?
Bisa. Begitu kita tahu pentingnya imunisasi, langsung saja imunisasi pada kesempatan pertama. Di umur berapapun bisa, datang saja ke dokter anak dan lengkapi imunisasi-imunisasi yang terlewat. Misalnya BCG. Kalau anak sudah terlalu besar, coba saja tes dulu. Jika memang negatif, segera kasih. Akan tetapi kalau sudah positif TBC, misalnya, ya obati. Imunisasi ini sangat penting dan masuk dalam Undang-undang Perlindungan Anak. 

Apa saja imunisasi yang wajib diberikan pada anak?
Semua vaksin dianjurkan untuk anak. Akan tetapi ada yang masuk program pemerintah, ada juga yang belum. Jadi bahasanya bukan vaksinasi yang wajib dan tidak, melainkan yang sudah masuk program dan yang belum. Bedanya, imunisasi yang diprogramkan pemerintah itu sudah diberi subsidi hingga harganya murah. Jadi, sebenarnya semua dianjurkan.

Apa saja risiko jika anak tidak diimunisasi?
Ada beberapa penyakit berbahaya yang bisa dicegah dengan imunisasi seperti TBC. TBC bahayanya luar biasa karena bisa kena paru-paru, bisa juga jadi radang otak. Jika terkena meningoensafalitis, anak yang tadinya bisa jalan, bisa tiba-tiba kejang dan perkembangannya mundur semua menjadi seperti bayi lagi. Ini akibat dari TBC. Kemudian DPT, imunisasi ini, kan, melindungi anak dari difteri, pertusis, dan tetanus. Rela tidak jika anak kita sedang main, kemudian menginjak paku, lalu tetanus? Itu semua bisa dicegah dengan imunisasi-imunisasi itu dan memang dibutuhkan imunisasi yang spesifik. 

Memang pada praktiknya, dalam masyarakat itu jika sembilan puluh persen diimunisasi, yang sepuluh persen bisa ikut terlindungi. Akan tetapi, kan, lebih baik jika semuanya terlindungi secara khusus. 

Jika ibu hamil terkena campak, apa dampaknya? 
Imunisasi MMR itu, kan, seharusnya diaplikasikan pada anak berumur lima belas bulan dan diulang usia lima atau enam tahun dengan tujuan memberikan kekebalan pada anak, terutama perempuan.
Kalau seorang ibu terkena Campak Jerman ketika hamil muda, efek untuk ibu tidak terlalu parah, hanya demam sedikit dan merah-merah. Tapi, bayinya berpotensi kena Sindrom Rubella Kongenital. Artinya, sindrom rubella yang dibawa oleh janin ketika ibunya campak saat hamil muda. Ketika usia kandungan masih muda itu, kan, terjadi pembentukan organ tubuh. Yang terserang pada calon bayi itu adalah bagian otak, mata, dan jantung.  

Apakah ibu hamil yang terkena campak bisa diberi vaksin? 
Kalau dia sudah positif hamil, tidak bisa. Vaksin itu harusnya diberikan sebelum hamil. Usia berapapun tetap bisa walau terlambat, tapi tidak bisa jika ia sedang hamil.  

Apa benar MMR bisa membuat anak mengidap autis?
Masalah MMR dengan autis ini memang isu yang banyak dibicarakan. Ini sebetulnya dikemukakan Wakefield di Inggris. Dia sebenarnya dokter bedah, bukan ahli vaksin, dan dia membuat pemalsuan data. Dia palsukan data sehingga dalam jurnalnya seolah-olah MMR berhubungan dengan autisme. Nah, begitu Wakefield mengumumkan MMR berhubungan dengan autis, para ilmuwan ahli vaksin langsung membuat penelitian. Apakah benar ada hubungan antara MMR dan autis? Langsung diadakan uji klinis dan ternyata tidak terbukti.

Bagaimana dengan kabar bahwa vaksin polio tidak halal karena mengandung enzim babi?
Yang beredar bukan hanya enzim babi, tapi juga disebutkan mengandung darah kera dan segala macam. Itu cerita di tahun 1960-an. Dulu mungkin begitu tapi sekarang sudah berubah dan tidak bisa gunakan fakta-fakta lama. 

Perlu ditekankan, pada produk akhir vaksin itu tidak mengandung babi. Jika dibilang mengandung lemak babi, itu salah total. Di vaksin meningitis dan vaksin polio injeksi (IPV), dalam pembuatannya memang menggunakan katalisator enzim tripsin yang berasal dari babi, itu tujuannya untuk mempercepat. Namun, perlu diingat, di akhir proses ketika produk sudah jadi, sudah tak ada kandungan babinya. 

Nah untuk kasus ini, ulama-ulama dunia bertemu di Kuwait untuk membahasnya. Mereka membicarakan tentang hukum transformasi zat. Jadi jika sebuah zat berubah jadi zat baru yang sangat berbeda, maka hukumnya ikut berubah. Ulama dunia mengatakan ini halal dan boleh karena hukum zat sudah berubah.

Apa yang melatarbelakangi pro kontra dan pemalsuan data mengenai imunisasi?
Biasanya karena pengalaman pribadi. Misalnya anak yang sudah imunisasi campak, kok, kena campak juga? Itu harus dilihat dari kualitas campaknya, mungkin tingkatnya lebih rendah setelah divaksin. Pasalnya, imunisasi itu, kan, upaya manusia. Memang tidak ada jaminan seratus persen bisa bebas dari penyakit, tapi ini upaya manusia untuk mencegah. Sebagian besar berhasil, meskipun ada sebagian kecil yang tidak berhasil.

Beberapa gejala dirasakan anak setelah imunisasi yaitu KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi). Apa saja gejalanya?
Ya memang ada, dari yang ringan dan berat. Akan tetapi kejadiannya tidak banyak. Secara statistik memang diakui ada yang merasa demam, bengkak kemerahan di sekitar suntikan, anak jadi rewel, atau diare. Yang cukup berat, jika anak suka demam disertai kejang, ia juga bisa kejang demam. Akan tetapi, KIPI yang kejadiannya di bawah satu persen ini termasuk ringan dibandingkan dengan risiko jika anak tidak diimunisasi. 

Bagaimana proses pembuatan vaksin hingga terbukti aman?
Kita punya Bio Farma yang membuat vaksin-vaksin program pemerintah. Indonesia itu telah diakui sebagai produsen vaksin handal karena kualitasnya bagus, bahkan kita sudah mengekspor ke negara-negara Islam untuk digunakan di sana. 

Untuk vaksin, kan, berlaku Good Clinical Practice. Kebetulan saya ikut pelatihan juga kemarin. Jadi bagaimana melakukan uji klinis untuk obat atau vaksin itu ada dua aspek penting, yaitu keamanan dan keakuratan data. Proses penelitiannya dimulai dari dicoba pada hewan dulu, kemudian ke sukarelawan, ke orang-orang tertentu, lalu baru diaplikasikan ke anak. Setelah itu juga ada post marketing surveillance. Itu berlapis-lapis karena safety to human being is a must. Standar keamanan untuk kemanusiaan itu sebuah keharusan untuk produksi vaksin dan obat. Ada masalah di satu orang saja bisa distop.

Apakah ada hasil yang menunjukkan penurunan jumlah penyakit atau wabah setelah Indonesia menggalakan imunisasi?
Jelas ada. Misalnya kalau kita lihat di lapangan, lihat dari pengurangan anak yang terkena polio sejak digalakan imunisasi polio itu. Vaksin polio ini, kan, sudah luas cakupannya. Ini sepengamatan saya sebagai dokter anak. Lalu misalnya kemarin ketika ada wabah campak di rumah sakit, itu ketika dilihat sebagian besar yang terkena memang tidak ada atau tidak lengkap riwayat vaksinasinya. Sama halnya dengan wabah difteri di Jawa Timur. Data imunisasi mereka memang rata-rata tidak ada atau tidak lengkap.