Guillain Barre Syndrome Menyebabkan Lumpuh pada Anak-anak

Budi, sebut saja begitu, tergolong anak yang sehat, aktif dan cerdas. Seperti anak-anak pada umumnya, dia menggandrungi permainan aktif seperti sepakbola dan petak umpet. Namun, semuanya berubah drastis ketika bocah berusia 5 tahun itu terkena flu. Saat itu ia tidak hanya dibuat tersiksa oleh ingusnya yang terus-terusan meler, bersin-bersin dan demam, melainkan juga tubuhnya yang menggigil. Anehnya, seluruh kaki dan tangannya kesemutan, meski awalnya hanya bagian ujung-ujungnya saja. Kondisi Budi sejak itu ternyata makin kritis. Tak sampai seminggu, seluruh anggota tubuhnya tidak mampu digerakkan lagi atau lumpuh. Bahkan mulutnya tak mampu berkata sepatah kata pun. Orang tuanya sama sekali tak tahu apa penyakit aneh yang menyerang putranya. Budi pun hanya bisa tergolek di tempat tidurnya. Bahkan impiannya untuk bersekolah di tahun-tahun mendatang harus dikuburnya dalam-dalam.

TAK PANDANG BULU
Penyakit aneh yang menyerang Budi, dijelaskan oleh dr. Andreas Harry, Sp.S(K)., adalah apa yang dinamakan Guillain Barre Syndrome (GBS). Sindrom ini terjadi karena sistem kekebalan tubuh (autoimmune) menyerang kantung saraf. Kejadiannya, lanjut Andre, "Bisa diawali oleh infeksi saluran pernapasan, flu, demam berdarah, diare, atau tifus. Bahkan tindakan bedah dan imunisasi juga bisa menjadi pemicu sindrom ini," tutur dokter ahli saraf yang pernah menangani anak yang menderita GBS setelah mendapatkan vaksin HiB.

Entah kapan persisnya sindrom yang disebut sesuai dengan nama penemunya Guillain Barre, muncul. GBS sendiri baru bisa diidentifikasi mulai tahun 1976. Saat itu beberapa orang terkena sindrom ini setelah mendapatkan vaksin Swine Flu. Selanjutnya, setiap tahun di seluruh dunia ribuan orang terdata sebagai penderita GBS. Data statistik di Amerika menunjukkan, 1-2 dari 100.000 orang berpeluang terkena GBS.

"Di Indonesia sendiri diperkirakan ada lima penderita GBS setiap tahunnya," tutur dokter yang sudah menangani puluhan pasien GBS. Menurutnya, siapa pun, umur berapa pun dan dari status sosial mana pun memiliki risiko sama terkena GBS ini. Ironisnya, daya tahan tubuh yang baik pun ternyata bukan jaminan. "Perlu diketahui pula, sindrom ini bukanlah penyakit genetik, tidak dapat diturunkan, dan juga tidak menular."
Meski bisa menyerang segala umur, di semua tempat, namun di Indonesia, tukasnya, sindrom ini banyak ditemukan pada masyarakat pesisir pantai. "Mengapa bisa begitu, tidak diketahui apa penyebabnya. Selain itu, jumlah pasien GBS umumnya meningkat pada musim pancaroba. Mungkin perubahan suhu yang drastis, sebentar panas sebentar hujan, membuat kondisi individu jadi mudah diserang sindrom ini."

BISA SEBABKAN KEMATIAN
Lantaran sampai saat ini tidak diketahui penyebabnya, dokter dari Prevento Andreaux International Clinic Jakarta ini menegaskan, tidak ada cara pencegahan GBS yang efektif. Yang juga membuat Andreas prihatin, tidak semua dokter bisa mendiagnosa sindrom ini dengan cepat dan tepat. "Bahkan ironisnya tidak sedikit dokter yang adakalanya malah salah mendiagnosa."

Boleh jadi, ujarnya, gejala yang ditunjukkan GBS nyaris sama dengan gejala-gejala penyakit lainnya. Kesemutan, contohnya. Diabetes dan gangguan saraf pun umumnya memperlihatkan gejala ini. Tak heran bila banyak dokter yang mendiagnosa penyakit GBS dengan infeksi sumsum tulang atau infeksi saraf tepi lainnya. Akibatnya, terapi, termasuk obat, yang diberikan pun tidak efektif. Pasien bukannya sembuh, tapi kondisinya makin kritis.

Menurut Andreas, salah satu cara yang cukup efektif untuk menegakkan diagnosa GBS adalah dengan tes elektrodiagnostik. Tes ini dapat mengukur nilai abnormal saraf motorik, saraf sensorik, kekuatan refleks fisiologik, menilai kondisi saraf batang otak dan kondisi otot pernapasan. Tidak hanya itu, tes ini juga membantu membedakan penyakit GBS dari penyakit gangguan saraf lainnya.

Andreas membenarkan bahwa salah satu gejala awal yang biasanya dirasakan penderita adalah kesemutan di ujung tangan dan kaki. Perasaan kesemutan ini muncul karena hancurnya selaput mielin pada saraf tepi, baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian ujung (distal). Padahal selaput mielin berfungsi mempercepat konduksi saraf. Hancurnya selaput mielin akan mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali. Akibat lebih jauh, penderita GBS mengalami gangguan motorik dan sensorik.

Uniknya, yang terserang lebih dulu adalah saraf tepi paling bawah kemudian naik ke saraf tepi yang lebih tinggi dan seterusnya. "Tak heran jika kesemutan dirasakan di ujung kaki dan tangan terlebih dahulu, lalu merembet ke pangkal tangan dan kaki," tutur ahli saraf ini.

MENYERANG BATANG OTAK
Selain kesemutan, perasaan "tebal", nyeri dan terbakar (gangguan sensorik), penderita juga bisa mengalami kelemahan otot bagian bawah (motorik). Dalam waktu singkat, kelemahan ini akan berlanjut menjadi kelumpuhan (plegia). "Awalnya mungkin penderita hanya merasakan kakinya sulit untuk digerakkan sehingga harus menyeretnya ketika berjalan. Lambat laun penderita tidak bisa berdiri sama sekali."

Lamanya proses penghancuran saraf hingga berdampak kelumpuhan pada masing-masing individu amat bervariasi. Masa progresifnya ada yang mencapai seminggu, tapi ada juga yang mencapai tiga minggu."
Tak jarang, lanjut Andreas, gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik. Akibatnya, terjadilah gangguan saraf simpatik dan parasimpatik. Hal ini antara lain bisa dilihat dari naik-turunnya tekanan darah penderita secara tiba-tiba. "Bisa saja tekanan darah penderita yang awalnya hanya 120/80 mmhg mendadak naik menjadi 190/95 mmhg. Selain itu, pasien juga sering berkeringat saat berada di tempat yang dingin."
Gejala lainnya, jika sampai menyerang batang otak, penderita tidak bisa menelan, berbicara, dan bernapas. Tak jarang gejala tadi disertai kelemahan otot-otot wajah, sampai-sampai penderita juga tidak bisa menggerakkan kedua bola matanya sendiri. Kelemahan otot ini biasanya bersifat simetris. Artinya, anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan yang kanan.

Gangguan saraf juga bisa menyerang sistem saraf pada saluran pernapasan. Bila hal ini terjadi umumnya akan ditandai oleh napas berat karena lemahnya otot-otot pernapasan. Akibatnya, fungsi paru-paru pun akan menurun karena tidak bisa mengembang secara maksimal. Bahkan bisa juga terjadi infeksi paru-paru yang mengharuskan pasien mengenakan alat bantu pernapasan. Salah satunya adalah membuat "ventilator" di leher agar penderita bisa bernapas. Tentu saja kondisinya harus terus-menerus dipantau. Jika penanggulangannya tidak tepat, pasien bisa tidak tertolong.

Lewat pengobatan yang tepat dan cepat, Andreas menegaskan, dalam tempo 3-6 bulan, sekitar 80% penderita GBS bisa sembuh total. Meski begitu, sekitar 15 persen pasien GBS tetap memiliki gejala sisa kelumpuhan dan nyeri. Biasanya, hal ini terjadi akibat penderita tidak mendapatkan terapi GBS dengan cepat, sehingga ada beberapa organ tubuh dan gejala sisa yang tidak bisa disembuhkan. Bahkan 3-6 persen penderita GBS berpeluang menghadapi kematian. Mereka ini umumnya terlambat mendapat pertolongan atau yang GBS-nya sudah sangat berat. Kematian umumnya terjadi bila pasien mengalami kesulitan bernapas karena saraf pernapasan di lehernya sudah rusak parah.

SERBA-SERBI TERAPI 
Menurut Andreas, terapi terbaik untuk GBS adalah pemberian imunoglobulin. Dosisnya 2 gr/kg berat badan, dengan kecepatan laju infus kurang dari 200 ml/jam. Tujuan pemberian obat ini adalah menetralisir plasma darah yang tengah merusak saraf. "Dengan dosis tepat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah, gen antibodi perusak diharapkan bisa netral kembali. Namun patut dicatat, pada sekitar 20% pasien, obat tersebut menimbulkan efek samping berupa nyeri otot dan kedinginan."

Terapi lainnya adalah mencuci plasma penderita (plasmapheresis). Plasma yang sudah rusak dari tubuh penderita dikeluarkan, lalu diganti dengan cairan plasma baru berupa 5% albumin salt free selama 8-10 hari. Plasma tersebut mampu membentengi tubuh dari autoimun yang merusak kantung saraf tadi.
Sementara gangguan motorik yang dialami penderita GBS mengharuskannya menjalani fisioterapi yang mesti dimulai sejak awal, yakni sejak kondisi pasien stabil dan bisa menjalani instruksi dari fisioterapis. Hanya saja ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, fase ketika gejala masih terus berlanjut sementara kondisi pasien belum terlihat membaik. Pada fase ini, yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meski kondisi pasien akan terus menurun. Kedua, fase penyembuhan, yakni ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien.

Pada fase pertama, kata Andreas, upaya menekan semua gangguan yang ada menjadi sedemikian penting. Sedangkan pada fase kedua, yang mesti ditekan adalah problem gangguan motorik. Secara keseluruhan, tindakan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional pasien.

Menurut Andreas, kelumpuhan/plegia terjadi akibat banyaknya motor unit yang tidak terkonduksi saraf sehingga tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan otot/parese terjadi karena sebagian motor unit dalam satu otot masih terkonduksi saraf, sehingga masih mampu mengkontraksikan otot tersebut, meski lemah. Akan tetapi karena yang digerakkan hanya satu otot, penderita GBS umumnya akan lebih cepat lelah.
Dalam menjalankan terapi, seorang fisioterapis sebaiknya berpegang pada prinsip sistematis, sehingga tidak ada bagian tubuh yang terlewati. Bila dilakukan secara sistematis, fisioterapis sekaligus juga akan bisa mengamati perkembangan motorik pasien.

Terapi sebaiknya diawali dengan menggerakkan anggota tubuh dari yang paling lemah dan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis, urutan gerakan ini akan sangat membantu motivasi pasien. Bukan cuma menggerakkan bagian tubuh yang harus dilakukan secara sistematis, tapi arah gerakan setiap sendi pun harus dilatih secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang terlupakan.

Yang tak kalah penting, fisioterapis juga harus mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau kelewat memaksa diri dalam menggerakkan anggota tubuh. Kalau ini yang terjadi, jangankan mendatangkan hasil optimal, motor unit justru amat berpeluang mengalami kerusakan.

Selain itu, pasien perlu ditumbuhkan kesadarannya bahwa pada waktunya otot-ototnya akan kembali bergerak, asal latihannya dilakukan secara rutin. Dalam setiap sesi, frekuensi latihan pasien GBS seharusnya tidak terlalu tinggi. Ini diperlukan untuk mencegah kelelahan mengingat terbatasnya jumlah motor unit yang bekerja. Sedangkan intensitas latihan bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.