Dampak Hurried Child Syndrome (HCS) Bagi Mental Anak-anak

Cermati lagi, apa saja kegiatan anak kita sehari-hari? Kalau sepulang sekolah ia masih harus menjalani berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan kursus setiap hari, ia bisa saja kena apa yang disebut hurried child syndrome (HCS). Sindrom ini merupakan fenomena dalam pengasuhan dan pendidikan anak masa kini yang disebabkan oleh orang tua karena menuntut anaknya tumbuh dan berkembang terlalu cepat. Penelitinya seorang ahli psikologi anak bernama David Elkind. Ia lantas mempopulerkan HCS pada 1981.

Contoh konkretnya, seperti dijelaskan Josephine M.J. Ratna, M.Psych., anak tersandera oleh jadwal berbagai kegiatan yang padat setiap hari. Ada jadwal sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, tambahan pelajaran, dan sebagainya. "Orang tua tidak puas anaknya hanya mendapat pelajaran dan pendidikan dari sekolah. Padahal kurikulum di sekolah sudah begitu padat dengan segudang PR yang harus dikerjakan. Dengan ketatnya kegiatan, anak seolah 'dikarbit' untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya," papar Master Psikologi Klinis dan Kesehatan dari RS Surabaya Internasional ini.

DISEBABKAN OBSESI
Apa yang menyebabkan orang tua melakukan semua itu? Bisa jadi karena orang tua salah menginterpretasikan berbagai teori perkembangan yang muncul belakangan. Sebutlah teori multiple intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi beragam aspek sehingga banyak faktor dalam diri anak yang bisa dikembangkan dengan lebih spesifik. Atau the golden age (masa keemasan anak) yang berpendapat bahwa usia dini merupakan titik optimum dalam perkembangan otak sehingga lebih mudah menyerap hal-hal baru.

Tidak ada yang salah pada teori-teori tersebut. Hanya mungkin pihak orang tua yang begitu terobsesi dengan hal ini dan menstimulasi anak-anaknya dengan cara berlebihan. Semenjak bayi, anak sudah diberi jadwal yang ketat. Misalnya, di pagi hari si kecil dialunkan musik lembut yang diyakini dapat merangsang perkembangan otaknya. Setelah itu ia diajak bermain yang merangsang motorik kasar. Jam berikutnya ia harus melakukan aktivitas yang merangsang motorik halus. Belum lagi, orang tua mengajak bayinya berkomunikasi dalam beberapa bahasa sebagai pembiasaan untuk penguasaan bahasa. Semua ini terjadwal rapi dalam suatu rutinitas.

Tentu semua tindakan tadi bertujuan baik, yakni memberikan yang terbaik bagi sang buah hati. Orang tua menginginkan anaknya kelak memiliki daya saing dan sanggup berkompetisi di era globalisasi. Di lain pihak, banyak pebisnis mencium fenomena "rangsangan dini" sebagai lahan menjanjikan. Tak heranlah jika sekarang bertumbuhan fasilitas bagi anak-anak balita bahkan bayi yang sebenarnya tidak begitu diperlukan.

Misalnya, ada "sekolah" untuk bayi, dan bagi anak batita tersedia les menulis, membaca, berhitung dan komputer. Lalu untuk anak-anak TK, ada kursus sempoa, bahasa asing, musik, dan seni. Saat duduk di bangku SD, anak-anak diikutkan pada les bidang pelajaran sekolah, seperti matematika dan lainnya. "Kursus-kursus lain yang awalnya hanyalah suplemen, berkembang menjadi kebutuhan primer dengan tujuan fast track mencapai keterampilan tertentu. Sayangnya, orang tua merasa aman-aman saja bila mengikuti gaya hidup seperti ini," sesal Josephine.

MALAH BERMENTAL LEMAH
Jika anak dituntut bertanggung jawab menjalani sederet kegiatan secara ketat, artinya orang tua memperlakukan anak seperti miniatur orang dewasa. Begitu pula jika anak dituntut berprestasi setinggi-tingginya, tak boleh bolos dari jadwal yang telah ditetapkan, dan sebagainya. Tentu saja rutinitas itu amat membosankan.

Dengan kondisi seperti ini, secara tegas David Elkind menyatakan, tujuan awal orang tua untuk mendongkrak kemampuan anak bisa menjadi bumerang dan justru menyebabkannya tidak mencapai apa-apa. "Niat awal menciptakan generasi baru yang lebih baik malah bisa membuat orang tua terjebak dalam 'mencetak anak-anak karbitan' yang justru bermental lemah dan penuh dengan potensi problematika di masa mendatang," ujar Josephine.

Inilah beberapa dampak itu: 
* Merasa tidak dicintai
Ketatnya jadwal membuat anak menjadi bosan dan jenuh dengan rutinitas. Belum lagi di rumah, dia masih harus berperan sebagai anak baik dan berbakti pada orang tua. Si kecil serasa tak memiliki waktu bebas untuk bermain serta berangan-angan. "Mereka jadi tidak mencintai dirinya sendiri dan membenci orang tuanya karena menganggap ayah dan ibu otoriter, pengatur, memaksakan kehendak, dan tidak mencintai mereka."

* Kehilangan waktu bermain
Akibat selanjutnya, anak-anak HCS sering sembunyi-sembunyi melakukan sesuatu yang mereka sukai di tengah-tengah kegiatan yang harus diikuti. Contoh, mencuri waktu untuk bermain game, membaca komik, menonton teve, atau menyelinap keluar rumah hanya untuk sekadar bermain ayunan di taman sebelah. Padahal saat itu mereka harus bersiap berangkat ke tempat kursus.

* Lelah berkepanjangan
Anak-anak HCS pun akan mengalami rasa lelah berkepanjangan. Mereka jadi mudah tertidur di kelas. Secara psikologis, kondisi kelelahan dan kejenuhan bisa berakibat pada munculnya gejala depresi. Bila hal ini tidak segera ditangani bisa mengarah pada menurunnya konsentrasi dan prestasi belajar.
Anak juga menjadi pemurung, mudah sakit, dan sering mengeluh tentang kondisi fisiknya yang tidak fit, seperti mudah sakit perut, pusing, diare, sulit tidur, bahkan masih/kembali mengompol, dan sebagainya.
Di sisi lain, orang tua makin menambah jumlah macam dan waktu kursus yang justru tidak menyelesaikan masalah, malahan meningkatkan permasalahan. "Ini bisa menyebabkan lingkaran setan yang tidak menghasilkan solusi," ungkap Josephine.

* Stres tinggi
Akibat lebih jauh lagi, anak bisa mengalami stres tinggi akibat selalu bergegas setiap hari dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan bukan tidak mungkin, anak akan melakukan upaya bunuh diri. "Meningkatnya kasus bunuh diri pada kalangan anak cukup dramatis walaupun penelitian khusus tentang hal ini belum banyak dilakukan."

Sindrom hurried child selain mempengaruhi anak, juga bisa berdampak pada orang tua, seperti:
* Frustrasi
Orang tua akan memiliki harapan yang tidak realistis pada anak. Misalnya, mereka berharap anaknya dapat selalu berprestasi dan sukses karena mereka sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk itu. "Sering orang tua menjadi frustrasi dan menganggap bahwa anak tidak menghargai jerih payah mereka yang telah mengupayakan semuanya."
* Kelelahan
Orang tua yang terlalu terobsesi juga dapat menunjukkan gejala kelelahan karena ketegangan dalam mengatur jadwal anak, ketegangan dalam mengikuti perkembangan anak di tiap macam kursus yang diikuti, ikut sibuk bila anak mengalami masalah di sekolah dan lain-lain.

PENTINGNYA PENGASUHAN ALAMI
Agar anak terhindar dari HCS, saran Josephine, seyogyanya orang tua tidak bersikap berlebihan dalam mempersiapkan anak menghadapi masa depannya. Pengasuhan alami dan penuh kasih sayang akan membuat anak tumbuh dan berkembang secara natural. Inilah yang terbaik. Bagaimana pengasuhan yang alami itu? Salah satunya dengan memperhatikan perkembangan unik dari setiap anak sambil tetap berfokus pada sekolah. Sejalan dengan perkembangan usia dan kematangan serta munculnya bakat anak dengan lebih jelas, barulah orang tua bersama anak mengevaluasi kembali apakah memang perlu mengikuti kursus tertentu di luar sekolah.

Pengamatan perkembangan kemampuan anak dapat dilakukan dengan mencatat hal-hal luar biasa yang muncul pada si kecil. Biasanya minat anak akan tampak pada pertanyaan yang diajukan, reaksi anak ketika melihat sesuatu, atau bagaimana cara anak memfokuskan perhatian pada hal tertentu. Dengan mencatat hal ini, orang tua dapat mempertimbangkan apa yang memang dirasakan cocok untuk sang buah hati.
Jadi, menurut Josephine, tidaklah bijaksana jika orang tua mengikutsertakan si kecil kursus hanya karena banyak anak tetangga atau teman sekelasnya mengikuti kursus tersebut. "Atau karena alasan ada tempat kursus di dekat rumah sehingga daripada tidak ada kegiatan, anak didaftarkan mengikuti kursus. Belum lagi alasan hanya supaya anak bisa bersosialisasi dengan banyak orang dan menjadi tahu banyak hal sehingga tiap hari mengikuti kursus yang berbeda."

PENTINGNYA KESEIMBANGAN
Hal lain yang ditekankan Josephine adalah agar orang tua mengusahakan balanced childhood. Yang dimaksud adalah menyeimbangkan kebutuhan anak dalam hal penguasaan keterampilan dengan kebutuhan mendapatkan kebebasan untuk melakukan hal-hal yang tidak menuntut prestasi, ketepatan bersikap dan berperilaku. Dengan begitu anak dapat berkembang secara alamiah.

Berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi orang tua agar tidak terjebak menciptakan HCS bagi anak-anak:
1. Hindari membuat jadwal kegiatan yang begitu padat saat anak masih berusia prasekolah. Biarkan mereka bermain sebebas-bebasnya pada waktu luang mereka.
2. Pilihlah TK yang banyak melibatkan kegiatan bermain dan bereksplorasi. Hal ini penting untuk menciptakan anak kreatif dan mau belajar dari lingkungan sekitarnya. Jangan memandang bahwa sebuah sekolah itu baik bila menjanjikan upaya mendongkrak kemampuan akademis belaka seperti dengan membaca, menulis, atau berhitung.
3. Biarkan anak menikmati masa kanak-kanaknya. Belajar menemukan hal-hal menarik di sekitar mereka dalam waktu yang tidak terjadwal ketat justru akan membuat apa yang mereka pelajari menetap dan bertahan lama.
4. Bila orang tua mengalami kesulitan untuk memutuskan yang terbaik bagi anaknya, diskusikan dengan guru sekolah anak atau berkonsultasi dengan psikolog.