Cara Menghilangkan Kebiasaan Anak Menghisap Jempol

Anak saya perempuan berumur 16 bulan, berat 12 kg. Sejak usia 6 bulan sampai sekarang, selalu mengisap jari jempolnya. Umumnya saat mau tidur, bangun tidur, menginginkan sesuatu tapi tidak diizinkan dan terkadang saat tidak terduga. Kebetulan kami tinggal di lingkungan keluarga besar yang sering berkumpul. 

Pertanyaannya:
  1. Apakah ada cara menghilangkan kebiasaan mengisap jari jempol tersebut? Jika tidak, apa saja efek dari kebiasaan ini (fisik dan psikologis)? 
  2. Bagaimana cara membuat dia mengerti bahwa saat berkumpul dengan orang lain (baik anak kecil/orang dewasa), ada hal-hal negatif yang harusnya tidak ditiru/dipelajari? 
  3. Pertanyaan tambahan, saya berencana mengajak dia berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Umur berapa sebaiknya dimulai? (Silvia N - Jakarta)
Mengisap jempol lazim terjadi karena anak masih terfokus pada tubuhnya. Kebiasaan ini makin meningkat bila anak merasa tidak bahagia dan tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan (bosan). Karena itu cara yang paling baik untuk menghilangkan kebiasaan tersebut adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk banyak beraktivitas dengan bahan-bahan alam. Mulai dengan bermain air, pasir, beras, adonan (play dough) sehingga fokus yang tadinya terarah pada tubuh akan beralih ke objek. Saya yakin anak akan meninggalkan kebiasaan tersebut.

Bila menjelang tidur ia mengisap jari, segera alihkan dengan aktivitas mendongeng, memainkan jari jemari atau memakai boneka tangan yang dilekatkan di jari tangan. Menghilangkan kebiasaan mengisap jempol membutuhkan usaha yang keras dari orang tua. Bila kebiasaan ini tidak diatasi, dampak fisik sudah jelas, yaitu pada kesehatan (karena jari terkena kuman), struktur gigi/rahang bisa terganggu. Dampak psikologisnya, anak cenderung berkembang menjadi anak yang tergantung pada orang lain, atau merasa tidak bahagia.

Untuk menghindari munculnya perilaku negatif sebagai hasil dari pergaulan maka Ibu dapat memberi respons sesegera mungkin terhadap perilaku teman dan saat ia berbuat negatif. Pergaulan akan memberikan dampak positif dan sekaligus negatif yang dapat dikurangi kalau anak sudah diajarkan/dilatih mengenai apa yang benar dan salah, boleh dan tidak boleh. Reaksi Ibu tidak usah terlalu drastis melalui tindakan yang keras. Cukup katakan si A suka memukul teman-temannya tetapi itu tidak baik karena orang lain kesakitan dan tidak mau berteman dengan A. Pada intinya, jelaskan dengan keterangan yang masuk akal kenapa suatu perilaku tidak dapat diterima. Sejak kecil, biasakan mengajak anak berkomunikasi dengan penjelasan yang masuk akal dan bukan dengan ancaman atau hukuman fisik/kata-kata kasar sebab anak akan meniru tindakan tersebut, tidak respek pada orang tua, atau bila hukuman bertubi-tubi diberikan, anak akan menjadi penakut, pencemas atau pemberontak. Sebaliknya, anak juga jangan terlalu dibiarkan berbuat semaunya karena pada masa 0-5 tahun merupakan masa awal pembentukan perilaku agar di kemudian hari tidak berkembang menjadi perilaku yang menyimpang dan sulit dibenahi.

Mengenai rencana Ibu untuk mengajarkan bahasa kedua, lebih baik dimulai setelah ia menguasai bahasa ibu. Bahasa kedua dapat diperkenalkan dengan cara Ibu sering menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari. Anak terbiasa mendengar dan paham, walaupun ia belum mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Tetapi sebaiknya waspada bila perkembangan bicara anak mengalami keterlambatan, tidak dianjurkan mengajarkan bahasa kedua sebelum bahasa ibu ia kuasai dengan baik. Sekian dulu dan semoga keingintahuan Ibu sudah terjawab.