Meski mirip dengan gejala flu biasa, Anda harus waspada bila anak juga mengeluh sesak napas. Pencegahan terampuh dengan pemberian imunisasi. Penyakit yang satu ini sekian lama tak terdengar kemunculannya. Namun, bulan lalu, penyakit mematikan menyita perhatian setelah “menyerang” anak-anak di Jawa Timur. Bahkan, 34 kabupaten/kota di Jawa Timur dinyatakan KLB difteri. Seperti apa, sih, sebetulnya penyakit difteri?
Difteri adalah suatu penyakit saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri Corynebacterium diphtheriae. Beberapa faktor pemberat difteri misalnya pasien kurang gizi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, atau pasien dengan riwayat penyakit kronis lain.
Penyakit ini cepat sekali menular melalui berbagai media, sebagian besar melalui bercak ludah (droplet) yang dikeluarkan sewaktu bersin atau batuk, atau juga kumannya sendiri yang ikut beterbangan dan terhirup.
“Gejala awal difteri biasanya sulit dideteksi, karena mirip sekali dengan gejala berbagai penyakit lain (prodormal), misalnya penyakit flu biasa. Gejala prodormal ini antara lain batuk pilek, demam tinggi, lemas, anak mengeluh pusing, dan tenggorokan sakit,” kata dr. Nita Ratna Dewanti, Sp.A., spesialis anak dari RS Premier Bintaro, Tangerang.
Sulit Bernapas
Setelah bakteri difteri masuk ke dalam tubuh, maka ia akan berinkubasi selama 2-5 hari, setelah itu diikuti oleh pembentukan selaput atau membran di daerah tenggorokan. “Membran ini biasanya berwarna putih keabu-abuan dan sangat mudah berdarah jika disentuh. Ini yang biasanya menyebabkan anak mengeluh sakit tenggorokan dan sulit bernapas. Pada kasus berat, anak bahkan sampai tidak bisa bernapas karena saluran napas di tenggorokan tertutup membran tadi,” kata Nita.
Pada kondisi dimana selaput membran cukup tebal, kalau lapisan diangkat paksa, bisa terjadi perdarahan. Pada kondisi berat, terkadang harus dilakukan tindakan tracheostomy (pembuatan jalan napas buatan melalui lubang yang dibuat di tenggorokan) supaya anak bisa bernapas. Pada kondisi lebih lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan sistem persarafan, sehingga menyebabkan kelumpuhan (cacat permanen) pada penderitanya.
Setelah masuk ke dalam tubuh, kuman difteri akan mengeluarkan racun (toksin). “Toksin inilah yang akan merusak organ-organ tubuh, termasuk menyerang otot-otot jantung, sehingga menyebabkan kondisi yang disebut myocarditis (peradangan pada jantung). Akibatnya, akan terjadi kerusakan jantung permanen. Kalaupun penderita berhasil survive atau sembuh, tapi tetap akan terjadi kecacatan pada jantung atau ginjal,” lanjutnya.
Itulah sebabnya, penderita difteri harus dirawat di rumah sakit, karena mereka harus mendapat perawatan khusus, pemantauan yang ketat, karena bisa menyerang ginjal, jantung, dan sebagainya.
Jangan Sampai Terlambat
Difteri memang termasuk penyakit yang berbahaya dan mematikan. “Kalau terlambat ditangani, bisa menyebabkan kematian. Contohnya, jika anak sampai tidak bisa bernapas. Apalagi jika kebetulan fasilitas kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan tracheostomy. Belum lagi soal ketersediaan serum antidifteri (ADS) yang tidak tersedia di semua fasilitas kesehatan, apalagi karena kasus difteri relatif sudah jarang,” jelas Nita.
Selain keterlambatan penanganan, sering juga terjadi kematian akibat keterlambatan diagnosis. Ini karena awalnya tidak disadari bahwa gejala yang muncul merupakan gejala difteri. Pasalnya, gejalanya memang mirip dengan gejala berbagai penyakit lain tadi. Terkadang orangtua tidak aware (memerhatikan, Red.), dianggap hanya batuk-pilek biasa. Setelah anaknya sesak napas, dan lapisan membran di tenggorokannya sudah tebal, baru ketahuan kalau itu adalah difteri.
Beberapa penyakit radang tenggorokan memang juga bisa menyebabkan semacam membran, tapi bukan difteri. Untuk memastikan, biasanya dilakukan pemeriksaan melalui cek lendir (swab). Beberapa faktor pemberat difteri misalnya pasien kurang gizi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, atau pasien dengan riwayat penyakit kronis lain.
Imunisasi Pencegahan Terbaik
Siapa saja yang rentan terserang penyakit mematikan ini? Kebanyakan anak-anak balita, dan yang paling rentan anak-anak di bawah umur 10 tahun. Tapi, bukan berarti orang dewasa tidak bisa kena difteri. “Orang dewasa tetap bisa kena, tapi yang paling rentan adalah anak-anak,” ujar Nita.
Pencegahan difteri yang paling baik dan efektif adalah dengan pemberian imunisasi DPT (difteri, pertusis, dan tetanus). Imunisasi DPT diberikan 5 kali mulai umur 2 bulan, dengan jarak satu atau 2 bulan. Tahun pertama diberikan 3 kali, dengan pengulangan pada umur 1,5 tahun, 5 tahun, dan 12 tahun.
“Ini yang kadang-kadang diabaikan orangtua. Imunisasi hanya dilakukan pada satu tahun pertama. Ulangannya dilewatkan atau tidak diberikan. Terkadang, orangtua juga enggan kalau yang nyuntik pihak Puskesmas. Boleh-boleh saja menolak disuntik Puskesmas, tapi anak tetap harus diberi imunisasi,” saran Nita. Sementara pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian serum antidifteri.
Yang Harus Dilakukan Orangtua
Gejala difteri yang tidak khas seringkali membuat orangtua kecolongan. Sebaiknya, saran Nita, segera bawa anak ke dokter bila menemukan gejala-gejala seperti demam, batuk, pilek, sesak napas. Biasanya, dilihat dulu 2-3 hari. Kalau gejala masih ada setelah 2-3 hari, lebih-lebih bila anak mengeluh sesak napas, sebaiknya segera dipastikan diagnosisnya. Dokter akan memastikan diagnosis dengan melakukan pemeriksaan lengkap dan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan swab.
Yang juga harus dipastikan adalah anak sudah mendapat imunisasi DPT lengkap. “Ini tanggungjawab orangtua. Anak yang sudah mendapat imunisasi paling tidak sudah memiliki kekebalan,” jelas Nita. Kalaupun ada kuman yang masuk ke dalam tubuh, tubuh akan cepat melawan.
Imunisasi adalah memasukkan kuman yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh. Kuman ini tidak bikin sakit, tapi justru akan mendorong tubuh membentuk antibodi. Antibodi ini memiliki sel memori. Jadi, begitu ada kuman masuk ke dalam tubuh, memori akan langsung mengenali, dan langsung melawan karena senjatanya juga sudah ada.
Berbeda dengan anak yang tidak atau belum mendapat imunisasi. Begitu kuman masuk, tubuh masih akan mencari-cari dulu kuman apa yang masuk, setelah itu membuat senjatanya. “Jadi sudah telat. Kalaupun anak yang sudah memperoleh imunisasi terserang difteri, biasanya kondisinya tidak sampai berat,” lanjut Nita.
Yang tak kalah penting, orangtua juga harus bertanggung jawab memerhatikan kesehatan anak dari segi gizi. Orangtua sebaiknya juga tidak mudah terpengaruh isu yang tidak benar, misalnya isu yang menyebutkan bahwa imunisasi berbahaya. “Ada baiknya mencari informasi ke pihak yang berkompeten dan dapat dipercaya (dokter),” saran Nita.