Gangguan Hipogonadisme Wajah Baby Face pada Anak Laki-laki

Mendengar suaranya, tak ada yang menyangka Si Buyung berusia 15 tahun. Wajahnya “mulus” tanpa kumis tipis atau jerawat. Jangan-jangan ia menderita hipogonadisme. Hipogonadisme memang asing di telinga. Padahal gangguan yang satu ini sangat dekat dengan kehidupan kaum Adam. Hipogonadisme merupakan keadaan di mana terjadi penurunan kadar hormon laki-laki yaitu hormon testosteron. Oleh karena itu, jangan sepelekan akibatnya karena kondisi ini dapat meningkatkan risiko disfungsi ereksi (DE), meningkatkan massa lemak tubuh, menurunnya libido, menurunnya massa dan kekuatan otot, serta osteoporosis.
Seperti Anak-Anak
Hipogonadisme dijumpai jika didapatkan konsentrasi hormon testosteron yang rendah atau kerja hormon testosteron yang tidak adekuat. Menurut dr. Em Yunir, Sp.PD-KEMD dari Departemen Endokrinologi dan Metabolism FKUI-RSCM, hipogonadisme dapat dijumpai sejak masa pertumbuhan di dalam kandungan, masa kanak-kanak, prepubertas, sampai usia dewasa, sehingga akan menunjukkan manifestasi klinis yang berbeda-beda.

 “Jika terjadi pada masa pertumbuhan dalam kandungan, hipogonadisme akan mengganggu perkembangan pembentukan organ seks,” jelas dr. Yunus di Jakarta beberapa waktu lalu. Apabila terjadi di masa prepubertas, perkembangan tanda-tanda seksual sekunder akan terganggu. Misalnya bentuk tubuh, perkembangan penis, pembentukan otot, kematangan suara, serta bulu rambut.

Namun, jika terjadi setelah usia dewasa, akan menyebabkan kemunduran tanda-tanda seksual lelaki, seperti rambut menipis, otot-otot menjadi lemah, loyo, tulang keropos, atau bahkan ketidaksuburan.  Jadi, bila anak lelaki Anda sudah berumur 15 – 17 tahun, tapi secara fisik belum terlihat kumis atau rambut halus, penis tidak berkembang, suara tetap kecil seperti suara kanak-kanak, tidak muncul jerawat di wajah, atau tidak ada tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan seksual lainnya, perlu diwaspadai kemungkinan ia menderita hipogonadisme. “Wajah ‘baby face’ pada anak lelaki remaja dan dewasa juga juga patut diwaspadai sebagai tanda hipogonadisme,” ujar dr. Yunir.

Dipicu Penyakit
Selain penyakit pada otak dan testis, hipogonadisme juga bisa terjadi akibat penyakit-penyakit kronis tertentu seperti obesitas, sindrom metabolik, hipertensi, dan diabetes tipe-2. Sekitar 40 persen pasien obesitas nondiabetes mempunyai kadar testosteron di bawah normal. Sedangkan pada diabetes dengan obesitas, 50 persen mengalami penurunan kadar testosteron. Sekitar 30 – 50 persen pasien dengan HIV/AIDS juga akan mengalami defisiensi hormon testosteron, 66 persen akan mengalami penurunan libido, dan 33 persen mengalami penurunan kemampuan ereksi.

Proses penuaan, khususnya setelah usia 50 tahun, juga menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron. Dengan menggunakan batasan di bawah 320 mg/dl pada lelaki usia di atas 50, 60, 70, dan 80, maka kejadian hipogonadisme adalah sebesar 12%, 20%, 30%, dan 50%. Beberapa penyakit kronis lain juga menyebabkan penurunan kadar testosteron. Contohnya, aterosklerosis, gagal jantung, rheumatoid arthritis, sirosis hepatis, dan penyakit hati kronis.

Testis dan Hipofisis
Hipogonadisme dibagi dalam dua kategori, primer dan sekunder. Pada hipogonadisme primer, kelainan terletak pada testis, sehingga akan dijumpai kadar testosteron yang rendah disertai hormon gonadotropik yang meningkat. Kondisi ini dikenal dengan sebutan hipergonadotropik-hipogonadisme.
Hormon gonadotropik sendiri merupakan hormon stimulan yang dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis di otak dan akan merangsang testis untuk menghasilkan hormon testosteron. Beberapa penyakit yang menyebabkan hipogonadisme primer antara lain testis yang tidak turun, infeksi pada testis atau trauma pada testis karena kecelakaan, dikebiri, serta komplikasi penyakit gondongan.

Sedangkan pada hipogonadisme sekunder, kelainan terletak pada kelenjar hipofisis di otak. Alhasil, akan dijumpai kadar hormon testosteron yang rendah dengan hormon gonadotropik yang rendah pula.
Keadaan ini dikenal sebagai hipogonadisme-hipogonadotropik dan menyebabkan beberapa penyakit kronis. Contohnya, tumor hipofisis, penyakit-penyakit kritis, serta kondisi pascaradiasi.
Di samping menurunkan libido dan DE, hipogonadisme juga dapat menyebabkan infertilitas akibat gangguan produksi sperma di dalam testis. Defisit hormon testosteron pada masa pertumbuhan juga dapat mengganggu perkembangan dan pematangan tanda-tanda seksual sekunder.
“Osteoporosis, yang sering terjadi pada wanita (menopause), bisa dialami lelaki akibat hipogonadisme. Diduga ini merupakan akibat langsung defisiensi hormon testosteron yang kemudian mengganggu proses pembentukan tulang dan meningkatkan pengeroposan,” lanjut dr. Yunir.

Sulih Hormon
Untuk mewaspadai adanya hipogonadisme, pemeriksaan hor­mon testosteron perlu dilakukan. Pengambilan serum harus dilakukan pada jam 07.00 – 11.00. “Waktu ini diambil sebagai standar pengambilan serum supaya tidak terjadi standar pengukuran yang tidak sama,” lanjut dr. Yunir.

Kadar testosteron total di atas 350 mg/dl merupakan batas di mana pemberian substitusi testosteron tidak diperlukan. Jika kadar testosteron total di bawah 230 mg/dl, ini adalah batas untuk memberikan substitusi testosteron. Sementara kadar antara 230 – 350 mg/dl akan memerlukan pemeriksaan ulang disertai pemeriksaan sex hormone binding globulin (SHBG) untuk menentukan kadar free testosteron (bioavailable testosteron).

Pada hipogonadisme sekunder, seringkali diperlukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) atau CT-Scan untuk mengetahui adanya tumor di hipofisis. Hipogonadisme pada lelaki dewasa bisa diobati antara lain dengan penggantian hormon (sulih hormon). Terapi testosteron ini nantinya mampu mengembalikan fungsi seksual, kekuatan otot serta mencegah osteoporosis. Penggunaan bantuan teknologi reproduksi untuk membantu pasangan dalam pembuahan juga bisa dilakukan.

Pada anak lelaki, penyebab hipogonadisme harus dicari lebih dulu kemungkinan adanya penyakit lain yang menyertai. Jika diperlukan, bisa diobati dengan pemberian hormon testosteron sintetik.“Orangtua juga sangat berperan melakukan deteksi dini hipogonadisme pada buah hati mereka. Di antaranya dengan me­waspadai kelainan yang mung­kin terjadi selama masa tumbuh-kembang anak,” kata dr. Yunir.