Tes Urin Bayi Baru Lahir Mendeteksi Kelainan pada Bayi

Boleh dibilang, tes urin pada bayi baru lahir tergolong baru. Apalagi memang baru sekitar 2-3 tahun lalu tes urin "masuk" ke negeri kita. Namun di luar negeri, tes urin pada bayi baru lahir sudah dilakukan sejak tahun 90-an. Ada beberapa hal yang membedakan tes urin dengan tes darah. Pertama, seperti diterangkan Dr. Sanarko Lukman Halim, SpPk, pada tes darah, setiap pasien akan diambil darahnya. "Nah, jika bayi harus tes darah, biasanya darah diambil dengan menusukkan jarum ke tumit bayi. Cara pengambilan ini membuat orang tua tak tega mendengar tangisannya. Sedangkan pada tes urin, yang dibutuhkan cuma urin bayi yang ditaruh di kertas saring untuk dideteksi."
Perbedaan kedua, tes darah disebut one test-one disorder. Maksudnya, satu tes hanya untuk mendeteksi satu penyakit. Sedangkan tes urin, hanya dengan satu kali tes, bisa mendeteksi sekitar 100 kelainan (one test-many disorders). Adapun kelainan yang dideteksi ialah kelainan metabolik yang banyak ragamnya.

ANEKA KELAINAN
Dalam istilah kedokteran, kelainan metabolik disebut Inborn Error of Metabolism atau IEM, yaitu kelainan yang disebabkan ketidakseimbangan sel-sel dan organ metabolisme dalam tubuh. "Jadi, IEM adalah kelainan yang dibawa dari lahir," ujar Halim.

Ada banyak jenis IEM tapi semuanya tak bisa dilihat langsung. Artinya, sewaktu lahir bisa saja bayi terlihat sehat dan kesadarannya baik, tapi sebenarnya fungsi otak dan beberapa jaringan lain berkurang karena mengidap IEM. Misal, bayi-bayi yang mengalami PKU atau phenyketonuria, "akan tampak normal pada waktu lahir tapi sebenarnya mereka mengalami kekurangan salah satu enzim dalam pencernaannya.
Hingga, kala diberi susu malah akan sakit." Gejalanya: bayi mengalami kesulitan minum hingga sering menyebabkan muntah proyektil, yaitu muntah yang keluarnya memancur. Jadi, bukan gumoh. Pada gumoh, susu biasanya cuma keluar di sudut mulut bayi.

Semula, PKU diduga hanya terdapat pada orang kulit putih (caucasians), tapi penyelidikan terbaru menunjukkan kasus PKU sudah terdapat di Asia. "Karena sekarang, kan, kita ini masyarakat majemuk, banyak yang menikah dengan orang Barat. Jadi, walaupun jarang, PKU bisa terjadi juga di Indonesia," kata Penanggung Laboratorium Klinik Johar ini.

Lain lagi dengan bayi-bayi yang mengidap galactosemia, "mereka tak bisa mencerna bahan-bahan yang terkandung dalam susu dengan baik." Jika pada bayi normal di dalam tubuhnya bisa terjadi proses pencernaan yang dapat mengubah laktosa (gula susu) menjadi glukosa yang berguna untuk energi, maka bayi yang mengalami galactosemia tak bisa melakukannya karena si bayi tak memiliki enzim pencernaan tersebut. "Lama kelamaan laktosanya akan mengumpul dan berubah menjadi racun. Jadi bayi ini biasanya kalau puasa malah tambah sakit, kalau dikasih makan juga sakit karena makanan tersebut berubah jadi racun."

Jenis IEM lain ialah MSUD atau Maple Syrup Urine Disease, homocystinuria, dan Congenital Adrenal Hyperplasia. "Pada MSUD, bayi mengalami kelainan reaksi kimia yang membuat kadar asam amino di dalam darahnya meningkat." Gejala utama MSUD ialah muntah dan hilangnya kesadaran (koma), serta kematian bila tak diobati. Sedangkan pada homocystinuria, "bayi mengalami defisiensi suatu enzim yang berfungsi mengatur belerang dalam tubuh. Akibatnya, bayi bisa mengalami kelainan tulang atau osteoporosis dan gejala kelainan pembekuan atau thrombo-embolism." Akan halnya Congenital Adrenal Hyperplasia, mengakibatkan bayi mengeluarkan banyak garam melalui urin. "Biasanya pada bayi laki maupun perempuan ditemukan kadar hormon pria yang tinggi, sehingga bayi perempuan sering diduga bayi laki."

Dalam jangka panjang, terang Halim, kelainan-kelainan IEM ini bisa menyebabkan bayi mengalami mental retardation (retardasi mental) karena mereka tak bisa mencerna bahan-bahan yang ada di dalam darah, hingga terakumulasi menjadi racun. "Kalau sudah begini biasanya lever bayi bisa membengkak, sementara racun-racun dalam tubuhnya mengakibatkan pertumbuhan bayi jadi terhambat dan dia bisa menjadi bodoh."

CUKUP DENGAN POPOK
Nah, mengingat dampaknya amat vital buat tumbuh kembang bayi selanjutnya, Halim menyarankan agar dilakukan tes urin pada bayi baru lahir. Soalnya, kelainan IEM bukan cuma tak kasat mata, tapi juga tak bisa diketahui siapa saja yang berisiko terkena kelainan IEM. Namun begitu, Ibu-Bapak juga tak usah terlalu cemas, karena kelainan IEM amat jarang terjadi. "Tapi bukan berarti enggak ada, lo!" ingat Halim.
Jadi, tak ada salahnya, ya, Bu-Pak, kita coba lakukan tes urin pada si kecil yang baru lahir. Toh, tes ini juga cukup mudah dilakukan. Maksudnya, tak seperti tes darah yang harus menusukkan jarum ke tumit bayi hingga menimbulkan rasa sakit pada si bayi, tes urin hanya memerlukan popok bekas ompol si kecil yang lalu diserap di kertas saring untuk dideteksi.

Prinsip uji saring IEM, terang Halim, mengukur secara simultan kadar asam organik, asam nukleat, dan berbagai jenis asam amino untuk mendeteksi sekaligus berbagai jenis kelainan metabolik. "Setiap bayi minum susu, kan, bahan-bahan yang ada dalam kandungan susu tersebut masuk ke usus, 'pergi' ke darah,lalu dari sini menjadi air seni. Nah, dari sinilah urin tersebut dideteksi. Misal, dalam tubuh bayi A tak mengandung bahan X, berarti si bayi sehat. Namun bila ditemukan bahan-bahan yang seharusnya tak ada berarti si bayi tak sehat," terangnya.

Biasanya tes urin dilakukan pada hari ke-5 sampai ke-7 setelah kelahiran. Pada saat itu, bahan-bahan makanan yang masuk ke tubuh sudah terkumpul dengan baik, hingga bisa dideteksi dengan baik pula. "Jika sebelum usia tersebut sudah dilakukan tes urin, memang bisa saja, tapi hasilnya biasanya tak begitu efektif." Soalnya, walau bahan makanan sudah terkumpul tapi belum dikeluarkan melalui urin karena tubuh masih bisa mentoleransi.

Dengan satu kali tes urin, lanjut Halim, kelainan IEM yang bisa dideteksi mencapai 101 jenis. Bila tes menunjukkan hasil positif, si bayi harus melakukan tes ulang atau malah melakukan tes darah untuk keakuratan. Bilapun tes-tes tersebut tetap menunjukkan hasil positif, tak perlu langsung was-was, karena bila sudah diketahui sejak dini (sebelum usia satu bulan ), kelainan IEM bisa dicegah dan diobati. Pengobatan biasanya terdiri perubahan diet, pemberian hormon pengganti, dan pencegahan hal-hal tertentu, tergantung jenis kelainan IEM yang dialami bayi.

Adapun biaya sekali tes urin, memang relatif lebih mahal ketimbang tes darah. Namun dibanding hasil tesnya yang lebih banyak, tak ada salahnya bukan bila kita mencoba tes urin? Toh, demi kebaikan si kecil dan masa depannya. Iya, kan, Bu-Pak?

Enam Target Test Urin
Di Jepang, uji saring massal kelainan metabolik yang dilakukan pada bayi-bayi neonatus (baru lahir), mencakup PKU, MSUD, homocystinuria, Congenital Adrenal Hyperplasia, dan galactosemia. Kelima jenis kelainan IEM ini, terang Halim, merupakan target yang dipilih dari tes urin untuk dideteksi sejak dini. Pasalnya, bila pengobatan dilakukan terlambat, si kecil yang mengidap kelainan tersebut akan mengalami retardasi mental berat, bahkan mungkin meninggal.

Masih ada lagi satu jenis kelainan IEM yang menjadi target, yaitu Hypotiroidi Congenital. Hanya saja, kelainan yang satu ini dideteksi bukan melalui tes urin, melainkan menggunakan sampel darah kering. Hypotiroidi Congenital atau hipotiroid bawaan, merupakan keadaan dimana kelenjar gondok atau tiroid yang lazimnya memproduksi hormon tiroid, tak memproduksi hormon tersebut.

Bila tak segera diobati, bayi yang mengalami hipotiroid bawaan juga akan tumbuh menjadi anak yang menderita retardasi mental. Namun bila sejak dini sudah diketahui mengidap kelainan tersebut, "masih bisa diselamatkan." Pengobatannya pun amat mudah, yaitu hanya dengan memberikan tablet yang mengandung hormon tiroid untuk mengimbangi tubuh si kecil yang kekurangan hormon tersebut.