Seperti diketahui, indra pendengaran sudah berfungsi sejak bayi masih di kandungan. Itu sebab, banyak ahli menyarankan agar ibu hamil kerap berbicara dengan janinnya, membacakan cerita, ataupun memperdengarkan musik. Selain untuk merangsang kepekaan pendengarannya, dari penelitian terbukti, setelah lahir, si bayi dapat mengenali suara-suara tersebut. Saat ia rewel dan diperdengarkan suara-suara yang pernah "akrab" di telinganya kala di kandungan, ternyata mampu menenangkannya. Tak hanya itu, sebagaimana Ibu-Bapak pun tahu, penelitian juga telah membuktikan kaitan antara memperdengarkan musik dengan kecerdasan anak.
Namun, bukan semata lantaran itu, maka pendengaran si kecil harus dirangsang. Melainkan, indra pendengaran itu sendiri amat erat kaitannya dengan kemampuan kognisi anak. Bukankah bila ia tak bisa mendengar, maka aspek-aspek perkembangan lainnya pun akan terganggu pula? Seperti dikatakan, Dra. Endang Retno Wardani, bila terdapat hambatan pada indra pendengaran, otomatis anak akan mengalami keterlambatan dalam proses perkembangannya. Akibatnya, proses kognitifnya pun takkan berkembang optimal. "Nah, dengan kita merangsang indra pendengarannya sejak dini, kita jadi bisa tahu bagaimana kemampuan intelektualnya sejak dini pula," tutur psikolog yang berpraktek di RS Pondok Indah, Jakarta, ini.
TAHAPAN PERKEMBANGAN
Jadi, meski belum bisa melihat, misal, di usia sebulan, respon terhadap suara yang didengarnya sudah ada. "Reaksinya memang belum berupa menoleh ke arah sumber suara, tapi lebih pada gerakan tubuhnya," jelas Endang. Misal, kala mendengar suara keras, ia akan bereaksi kaget atau disebut juga refleks Moro.
Di usia 4-5 bulan, barulah si kecil memberikan respon terhadap suara-suara dengan melihat ke arah sumber suara atau objeknya. Misal, ia akan menoleh ke arah suara ibu yang memanggilnya atau pada mainan yang dibunyikan. Proses yang terjadi ini, jelas Endang pula, dinamakan proses asosiasi, yaitu anak melihat hubungan antara sumber bunyi dengan benda atau bentuk yang mengeluarkan bunyi tersebut. Hal ini menandakan, proses kognisi telah terjadi.
Berikutnya, di atas usia 5 bulan, ia mulai berinteraksi dan menaruh perhatian pada objek di luar dirinya. "Saat ini bayi mulai bisa membedakan suara-suara." Sensitivitasnya terhadap bunyi atau suara makin bertambah ketika usianya 7-8 bulan. Di usia ini ia mulai tahu mana suara ayah, ibu, dan saudara lainnya. "Jadi, antara suara atau bunyi dengan wujud bendanya sudah dapat diasosiasikan dengan lebih jelas lagi." Selain itu, ia pun mulai bereksperimen dengan suaranya sendiri, seperti mengoceh atau berteriak-teriak. Masuk usia 8 bulan, ia sudah babbling (menggumam)dengan terstruktur berupa suku kata seperti "ma-ma-ma-ma" atau "pa-pa-pa-pa".
Di usia setahun, ia sudah bisa melabel. "Ia bisa berespon dengan apa yang pernah orang tua maknakan. Misal, kala melihat seekor kucing, ia akan katakan 'pus' seperti yang dikatakan orang tuanya atau bertepuk tangan untuk menirukan bunyi tepuk tangan. Ia juga bisa mengatakan 'mama', 'papa' atau lainnya yang pernah diajarkan kepadanya." Setelah usia setahun, perkembangan bahasanya makin pesat. Ia mulai berinteraksi dengan orang lain, juga sudah bisa dengan segera mengimitasi suara atau bunyi sesuatu dengan bendanya.
KENALKAN ANEKA SUARA
Namun, perkembangan di atas akan berjalan lancar alias tak terhambat, bila kita rajin merangsang indra pendengarannya dengan baik. Caranya, tak lain dengan mengenalkan aneka suara dan bunyi sejak dini, tanpa harus dibatasi suara atau bunyi apa saja yang perlu dikenalkan. Pun tak harus, misal, suara orang-orang di rumah dulu yang dikenalkan. Memang, bilang Endang, anak tumbuh dari lingkungan terdekatnya, yaitu keluarga dan suara paling awal yang didengarnya adalah suara orang tuanya. Namun bukan berarti yang harus dikenalkan lebih dulu adalah suara anggota keluarganya. Jadi, kita bisa mengenalkannya dari suara/bunyi apa saja, entah suara orang, bunyi bel pintu, detak jam dinding, dan lainnya.
Untuk mengenalkannya pun tak harus menyediakan waktu khusus. Artinya, kapan pun bisa dilakukan, baik melalui kegiatan rutin sehari-hari atau sambil bermain. Dengan mengajaknya bercanda dan bicara, misal, atau kita bersenandung kala hendak menidurkannya. Terlebih bila si kecil sudah bisa duduk, dipangku, atau diajak jalan-jalan, kita bisa mulai mengenalkannya dengan segala yang ada di seputar rumah, mulai di dalam rumah sampai di luar rumah. Misal, kita menirukan suara cicak sambil menunjuk pada cicak yang menempel di dinding atau mengatakan "pus" kala melihat kucing, dan lainnya. Makin bertambah usianya, bisa lebih luas lagi dikenalkan dengan berbagai suara/bunyi, seperti suara mobil, kereta api, petir, dan lainnya.
Jadi, tegas Endang, melalui pengalaman, proses pengenalan bunyi pada anak bisa dilakukan. Nantinya, dengan pengalaman itu pula anak akan mengenal lingkungannya. Namun ingat, saat mengenalkan aneka suara, si kecil pun harus melihat objeknya dalam kesehariannya. Misal, kala kita mengatakan "guk", maka si anjing harus ada. Dengan begitu, anak bisa membangun asosiasinya. Hingga, kala kita mengatakan "pus" atau "guk", si kecil langsung bisa menerimanya sebagai "kucing" dan "anjing".
Kemudian, sejalan perkembangan konseptual anak, kita bisa lebih mengarahkan anak untuk mengolah bahasanya. Misal, menyebut kucing dengan kata "kucing", bukan dengan "pus". Dengan demikian, anak nantinya akan mengatakan "kucing" kala melihat kucing.
LIHAT RESPON ANAK
Tentu saja, kala mengenalkan bunyi/suara pada si kecil, kita pun harus melihat responnya. Hingga, kita bisa tahu sejak dini pula bagaimana kondisi si kecil. Jadi, bila di usia sebulan, misal, ia tak merespon meski mendengar suara keras atau tepukan tangan kita di dekatnya, kita patut curiga. "Segera cari tahu problem yang dihadapi anak," anjur Endang.
Soalnya, bila anak tak berespon, di usia 7-8 bulan, perkembangan babbling-nya tak berkembang atau tak muncul. Bukankah kemampuan bicara erat kaitannya dengan pendengaran? Nah, keterlambatan bicara yang dialami anak tentu akan berpengaruh terhadap proses perkembangan selanjutnya. Misal, kemampuan belajarnya jadi terganggu. Interaksinya dengan orang lain pun jadi terganggu.
Untuk mengetahui bayi mengalami keterlambatan pendengaran atau tidak, biasanya para ahli akan melakukan suatu tes, yaitu Denver Developmental Screening Test. "Si bayi akan dilihat responnya terhadap bunyi-bunyian. Misal, di usia sebulan ia akan dilihat apakah bereaksi terhadap bunyi bel; ketika usia 4 bulan, apakah ia bisa bereaksi pada mainan yang berbunyi cik-cik-cik dengan melihat sumber suaranya. Nah, bila di usia 5 bulan ia belum berespon terhadap bunyi atau suara yang ditimbulkan, disebutlah delay atau terlambat. Untuk itu, perlu dicari penyebabnya agar sedini mungkin bisa ditangani," jelas Endang.
Selain melihat ada-tidak respon si kecil, kita pun harus peka bila responnya pada bunyi dentingan tertentu atau suara seperti mixer, vacuum cleaner, dan lainnya, justru sangat berlebihan hingga menimbulkan rasa takut yang amat sangat. Pasalnya, hipersensitif ini juga menunjukkan ada suatu kelainan, semisal autisme.
Memang, aku Endang, awalnya tiap bayi akan takut pada bunyi-bunyi atau suara tertentu yang keras, karena merasa asing dengan bendanya atau belum terbiasa dengan benda/sumber suaranya itu. "Umumnya, bayi mulai berespon secara berlebihan atau tidak terhadap suatu objek pada sekitar usia 5 bulan." Namun, apakah ketakutan itu akan berlanjut atau tidak, tergantung dari kita juga.
Itu sebab, kita harus memberikan penjelasan dan pemahaman langsung, "Ini enggak apa-apa, kok. Ibu saja di sini tak apa-apa," misal. Dengan begitu, si kecil akan melihat, o, ternyata benda itu tak apa-apa, hingga ia pun akan terbiasa. Atau, kala ia takut pada boneka yang berbunyi, kita kenalkan dengan mengajaknya menyentuh dan memegang boneka itu untuk menetralisir ketakutannya. "Bila anak sudah bisa mengatasi kondisi itu, ia pun akan terbiasa dengan suara atau bunyi tersebut. Nah, proses pembiasaan melalui pengalaman keseharian inilah yang membantunya."
Mainan Yang Merangsang Indra Pendengaran
Tentu mainannya atau alat bantunya haruslah yang berbunyi/bersuara. Tak sulit, kok, mendapatkannya karena banyak jual di pasaran. Namun, mainan itu sebaiknya tak terlalu keras dan bisa dipegang bayi. Kita bisa membantu si kecil menyentuh atau memegangnya, lalu membunyikannya. Dengan cara ini, jelas Endang, sekaligus kita melatih refleks menggenggamnya.
Mainan yang mendukung proses asosiasi, yaitu dapat mengenalkan bentuk dan bunyi, semisal, buku dari bahan kain yang kalau dibuka ada gambar sapi dan kalau gambar sapi itu ditekan akan berbunyi suara sapi, juga amat bermanfaat. Selain anak akan menyerap lewat pendengaran dan penglihatan, juga perabaan dan perasaan yang dialami dalam aktivitasnya.
Namun ingat, pesan Endang, dalam memilih mainan, apa pun bentuknya, jangan yang mudah pecah, hingga kalau terjatuh tak menimbulkan accident pada anak. Selain itu, upayakan warnanya menarik agar anak berespon pada benda-benda itu.