Cara Menyembuhkan Penyakit Epilepsi Ayan pada Anak-anak

Mematuhi aturan mengonsumsi obat ternyata bisa menyembuhkan epilepsi. Pahami lebih dalam, yuk! Epilepsi adalah cetusan atau bangkitan listrik yang berlebihan di otak. Seperti yang kita tahu, otak manusia terdiri dari miliaran saraf. Cabang saraf inilah yang menyediakan gelombang listrik. “Pada dasarnya, otak manusia selalu mengeluarkan gelombang listrik. Tipenya naik-turun dan kapan gelombang itu on atau off disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Misalnya ketika seseorang mengangkat tangan, gelombang listrik pada otaknya akan on secukupnya, lalu off lagi ketika tangan turun. Tapi, pada penyandang epilepsi (PE), cetusan listriknya berlebihan dan terus meninggi sehingga menyebabkan tangan tidak turun dalam waktu tertentu,” jelas dr. Lyna Soertidewi, SpS (K), M.epid., Koordinator Penelitian Departemen Neurologi RSCM/UI.

Menurut dr. Irawan Mangunatmadja, SpA (K)., lepasnya muatan listrik berlebihan di otak ini bisa juga diakibatkan kelainan anatomi, fisiologi, biokimia, atau gabungan ketiganya. Bangkitan biasanya berulang tidak menentu selama 24 jam dan dapat menimbulkan perubahan pada motorik, sensorik, atau perilaku PE. “Jadi, bentuknya tidak selalu terlihat seperti kelojotan (kejang, Red.), tapi bisa juga tidak terlihat. Misalnya, anak terlihat bengong atau berulang kali memeluk ibunya karena merasa takut berlebihan yang tanpa sebab. Jika Si Ibu tidak peka, bisa saja ia menganggap perilaku anak sebagai hal yang biasa,” ujar Irawan.

Bisa Dideteksi Sejak Hamil
Sebenarnya tidak sulit mendiagnosis kemungkinan penyakit epilepsi pada anak. Cukup dengan melihat apakah pada saat kehamilan Si Ibu memiliki masalah perinatal, seperti infeksi TORCH. Meski tidak selalu terjadi, TORCH dapat menyebabkan kerusakan otak janin. Bayi yang mengalami asphyxia saat lahir alias tidak menangis dan tubuhnya membiru karena kekurangan oksigen sehingga otaknya mengalami kerusakan juga memiliki kemungkinan mengidap epilepsi.

Penyebab lainnya adalah congenital surfactant protein malformasi. Yakni pertumbuhan janin yang tidak baik selama di kandungan. Atau, adanya infeksi susunan saraf pusat, misalnya di usia 1 tahun anak terkena infeksi meningitis, TBC, atau demam tinggi yang menyebabkan anak terkena radang otak dan infeksi otak di kemudian hari.

Setelah anak lahir, epilepsi juga bisa dikenali dengan mudah melalui faktor genetik. Yakni bila orangtua juga pernah menderita epilepsi sebelumnya atau dengan melihat tanda di kulit bayi. Tanda ini bisa berupa titik putih besar (bukan panu), bercak kecokelatan yang jumlahnya lebih dari enam buah dan masing-masing besarnya lebih dari 2 cm, atau kemerahan di dua per tiga bagian wajah anak. Bayi yang memiliki tanda seperti ini di kulitnya, kemungkinan besar akan menderita epilepsi di kemudian hari.

Penyebab lainnya adalah cerebrovascular (stroke) dan neoplasma (tumor). Dua hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sistem saraf sehingga gelombang listrik di otak tidak karuan. Hal lainnya karena keracunan metabolik (obat medis) dan toksik (narkoba).

Jenisnya Beragam
Bangkitan atau kejang pada setiap orang yang menderita epilepsi tidak sama. Oleh karena itu epilepsi dibedakan menjadi tiga tipe, tergantung bagaimana aktivitas otak yang tidak normal dimulai. Yakni tipe general, parsial, dan tidak diketahui (undetermined).

Epilepsi general merupakan kejang yang melibatkan seluruh bagian otak dan terjadi di luar kesadaran. Jenis pertama adala absence di mana gerakan tubuh yang halus dan mencolok dan dapat menyebabkan hilangnya kesadaran secara singkat, seperti bengong. Kedua, myoclonic atau drop attack yaitu kejang yang terjadi tiba-tiba pada beberapa otot saja. Ketiga, tonic-clonic (ayan) di mana intensitas kejang paling sering terjadi. Keempat, atonic atau kejang yang terjadi karena hilangnya keselarasan pada otot dan bisa berujung pada jatuh tiba-tiba (collapse) dan hilang kesadaran secara keseluruhan.

Sedangkan tipe partial adalah kejang yang muncul dari aktivitas otak yang tidak normal pada satu bagian otak tertentu. Tipe ini terbagi menjadi simple partial di mana kejang yang terjadi pada satu otot. Misalnya pada tangan atau kaki saja yang tanpa sadar mengalami hentakan atau mata yang berkedip terus menerus. Lalu, complex partial di mana kejang terjadi di sebagian tubuh tapi sangat kompleks karena ada gangguan kesadaran tadi. Contohnya, PE berputar-putar atau berlari-lari tidak karuan. Terakhir, secondary generalize alias kejang dari tipe simple partial dan berlanjut hingga complex partial.

Yang Perlu Dihindari
Bangkitan biasanya terjadi oleh pemicu yang tidak bisa ditebak. Namun beberapa hal berikut bisa membuat bangkitan terjadi dan harus dihindari PE. Di antaranya, kilatan, cahaya, sinar, atau lainnya yang distimulus lewat mata. Sebaiknya PE menghindarinya dengan menggunakan kacamata hitam, tidak mengunjungi diskotik, main video game, atau menonton televisi pada jarak dekat.

PE juga disarankan tidak mengikuti olahraga yang terlalu ekstrem, bersifat kompetisi, dan dilakukan tempat umum. PE lebih baik berolahraga di gedung olahraga atau lapangan dan didampingi oleh keluarga. Hindari pula kegiatan yang melibatkan ketinggian seperti panjat tebing, naik gunung, dan sebagainya. Tiga hal lain yang harus dihindari PE adalah stres, kurang makan dan istirahat atau tidur, dan tembakau.

Bisa Sembuh
Dr. Endang Kustiowati, SpS (K), M.Si., Med., mengatakan, epilepsi murni penyakit saraf yang bisa menimpa siapa saja di segala usia. Untungnya, berdasarkan studi populasi, 60-70 persen PE akan bebas dari epilepsi jika teratur mengonsumsi obat-obatan dalam kurun waktu lima tahun. Sayangnya, seringkali kegagalan terapi pemakaian Obat Anti Epilepsi (OAE) ini dikarenakan ketidakpatuhan PE dalam mengonsumsi obat.

Obat-obatan yang dikonsumsi harus sesuai dengan anjuran dokter, yakni yang sesuai dengan jenis bangkitan epilepsi yang dialami PE. Biasanya, dokter akan menyarankan monoterapi, yaitu meminum satu jenis obat dengan dosis terkecil. Jika serangan berlanjut, dosis obat bisa dimaksimalkan. Jika bangkitan masih terjadi, tambahkan satu jenis obat lagi (obat kedua) tanpa meninggalkan obat yang pertama.

Yang perlu diperhatikan, saat akan melakukan pergantian obat, jangan dilakukan mendadak agar konsentrasi darah dalam tubuh terhadap obat bisa beradaptasi. Obat epilepsi juga bukan antibiotik yang hanya dikonsumsi beberapa hari. Jadi minumlah AOE secara teratur sesuai dengan kurun waktu yang ditentukan, misalnya 2 atau 3 tahun. Terakhir, segera laporkan jika terjadi alergi.

Pengobatan dengan Bedah
Selain dengan penggunaan obat, Endang mengatakan, epilepsi jenis parsial bisa disembuhkan dengan cara bedah saraf atau neurosurgical. “Tapi khusus untuk parsial yang tidak dapat merespons obat,” ujarnya. Namun operasi ini tidak bisa serta merta dilakukan sebab dokter harus melakukan evaluasi dan mencari tahu di mana kejang berpusat melalui EEG (Electroencephalography).

EEG juga harus diulang beberapa kali untuk mendapatkan kesesuaian tadi alias perekaman jangka panjang. “Pada perekaman long term, pasien dirawat dan dimasukkan ke dalam suatu ruangan khusus selama 3-4 hari. Di situ alat EEG dihubungkan ke beberapa bagian di tubuhnya di mana pasien tetap melakukan aktivitas sederhana seperti biasanya. Dengan begitu, segala aktivitas bangkitan epilepsinya bisa dimonitor dengan lengkap,” papar Endang.

Setelah pembedahan, OAE masih perlu diberikan kepada PE. Namun mungkin obatnya tidak sebanyak sebelumnya. Kejang pun bukan berarti menjadi tidak ada setelah operasi. Misalnya kalau sebelumnya PE bisa mengalami bangkitan sekitar 20 kali dalam sehari, setelah operasi bisa berkurang menjadi tiga kali saja. “Itu, kan, sangat cukup untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Diharapkan goal-nya bebas bangkitan dengan atau tanpa obat," pungkas Endang.

Tak Kenal Lelah Mengobati Anak
Saat anaknya, Carol masih berusia 8 tahun sedang tertidur, Elly Handojo melihat posisi mulut Carol bergerak cepat naik-turun seperti orang menggigil. Giginya gemeretak dan mulutnya mengeluarkan air liur. “Besoknya saya lihat dia begitu lagi,” ujar Elly. Elly lalu membawa Carol ke Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah dicek dengan EEG dan MRI, meski tak terlalu parah, terlihat ketidaknormalan di otak Carol. Dokter pun mendiagnosis Carol mengidap epilepsi yang dipicu salah satu obat antipilek dalam obat asma yang dikonsumsi Carol.

Sejak itu, Carol memang tidak pernah lagi mengalami kejang. Namun dokter menyarankan agar ia mengonsumsi satu jenis OAE yang wajib diminum setiap hari selama dua tahun. “Dosisnya naik-turun sesuai petunjuk dokter. Setiap enam bulan otaknya di-EEG dan setelah dua tahun ia dinyatakan sembuh. Kalau enggak salah, dulu harga obatnya (1998-2000, Red.) sekitar Rp 200 ribu-an,” papar Elly. Sebagai seorang ibu, Elly berharap epilepsi tak lagi menghinggapi anaknya. “Meski secara ilmiah epilepsi bukan penyakit turunan, tapi saya deg-degan kalau nanti keturunannya juga kena epilepsi,” ujar Elly.

Lain lagi cerita Marifa. Putranya, Bagas (5) yang kala itu berusia 2 tahun, bersikap aneh sepulang bermain. “Kepalanya nengok-nengok ke kanan terus, setelah itu ia tertidur tak sadarkan diri. Dalam sehari, dia bisa kejang 30 kali,” kisah ibunya. Kalau ditanya sebabnya, Bagas juga tak tahu karena tak sadarkan diri. Dokter klinik menyarankan Bagas dibawa ke RSCM. Di sana, Marifa disuruh memeriksakan putranya ke bagian dokter saraf dan mendapati bahwa anaknya mengidap epilepsi.

Sejak itu, Bagas mulai mengonsumsi obat setiap hari dan bangkitannya pun berkurang. Sayangnya, penggunaan obat sempat terhenti karena terhalang biaya dan kejang Bagas pun kembali. Dokter lalu menyarankan agar Marifa mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). “Dengan surat itu, dari biaya obat yang tadinya hampir Rp 800 ribu per bulan, saya jadi hanya bayar Rp 100 ribu saja. Terhitung Juli tahun lalu, Bagas sudah tak pernah kejang lagi. Dan jika dalam setahun kejangnya tetap tidak kambuh, obatnya bisa dikurangi dan dihentikan,” urai Marifa.

Marifa tidak pernah menutupi penyakit anaknya. “Kalau dia kejang pas lagi main di luar, ada saja tetangga yang gendong bawa dia pulang. Sejauh ini, sih, enggak ada yang suka ngatain anak saya.” Marifa berharap, anaknya bisa benar-benar sembuh dari epilepsi. Ia juga berpesan kepada orangtua yang memiliki anak PE, “Jangan takut, epilepsi mudah disembuhkan. Jika tidak mampu bisa pakai SKTM. Jadi tidak ada alasan untuk mengucilkan anak PE,” tutupnya.